Pindah Pisah Pilu

Suasana sedikit tegang kemarin malam. Beberapa santriwati dipindahpaksakan oleh pengurus. Aku yang enggan mengalami hal yang sama akhirnya memutuskan untuk tidur lebih awal. Lampu kamar kami matikan dan pintunya kami tutup. Kami semua tidur.
Setahun sudah aku menetap di dalam pondok pesantren dan baru kali ini suasana begitu chaos. Penyebabnya adalah peraturan baru dari pengasuh dan pengurus yang mewajibkan tiap-tiap santri untuk rolling atau ‘tuker-tukeran’ kamar. Berbagai reaksi muncul, kebanyakan menetang keputusan itu. Namun beberapa santri yang termasuk dalam jajaran pengurus pondok kelihatannya pun setengah hati mejalankan keputusan itu.
Jika saja bukan karena titah Ibu Nyai kami, mungkin saja sudah terjadi demo. Sampai sekarang semua masih memendam emosinya karena segan kepada beliau. Dan kami juga tidak unjuk rasa karena hal itu nggak santri banget.
Baiklah kuberi sedikit gambaran mengenai pondok pesantren kami. Tentu saja dari sudut pandangku. Setahun yang lalu ayahku dengan teganya meninggalkanku di dalam salah satu kamar di pondok ini. Memang keputusan ayah sudah sangat mutlak saat itu, bahkan dewan keamanan PBB pun tak akan diberinya kesempatan untuk menyangkalnya. Ini merupakan kehidupan baruku dan sangat sulit.
Pondok pesantren ini sudah berdiri sejak tahun 1989. Aku pun belum lahir kala itu. Tentu saja karena memang pondok khusus untuk putri semua santriwati disini berkelamin perempuan. Yang nyantri disini pun dari berbagai kalangan. Terbanyak adalah mahasiswa dari berbagai universitas negeri maupun swasta di Yogyakarta. Iya pondok ini  berlokasi di Yogyakarta. Sebagian lagi merupakan pelajar SMP, SMA, maupun SMK. Sekali lagi, semuanya putri. Bisa dibayangkan betapa bising suasana di sini.
Meskipun tidak semua santri menghapal Qur’an, tapi pondok ini terkenal sebagi pondok tahfidz Qur’an. Entah sudah berapa hafidzhoh alumni pondok kami. Santri yang tidak menghapal Qur’an mengaji berbagai kitab dan mengaji qiraati. Metode belajar Al Qur’an yang cukup popular di sini.
Karena pada siang hari kami semua sibuk beraktivitas di luar pondok semua kegiatan mengaji dilakukan pada malam hari ba’da maghrib dan pagi hari ba’da salat subuh. Kegiatannya meliputi salat berjamaah, wiridan, madrasah diniah, mengaji Qur’an, sorogan kitab pada malam hari dan bandongan kitab pada pagi hari. Pada hari-hari khusus seperti malam jumat kegiatan kami adalah dibaiyah atau barzanji. Pada minggu pagi kita berziarah ke makam ulama pendiri pondok pesantren ini. Malam jumat wage kita melakukan mujahadah berjamaah yang spesial diimami oleh ustadz. Pada malam sabtu wage kita menyimak hapalan santriwati tahfidz Qur’an. Begitulah aktivitas kami dari hari ke hari minggu ke minggu bulan ke bulan.
Kami tinggal di dalam kamar-kamar sempit dan sumpek penuh lemari pakaian, tas-tas bertumpuk, peralatan makan, kasur dan selimut, buku-buku dan masih banyak lagi. Kamarku sendiri berukuran 3x5 m dan diisi oleh sepuluh orang. Seperti sel. Pada awal kedatanganku di sini pun, Ibu Nyai sempat berkata kepadaku, “Yo ngene iki jengene pondok. Koyo penjara, tapi yo penjara suci.” Sungguh setahun lalu kupikir aku akan mati di dalam kamar itu. Nyatanya tidak!
Meski sempit, lama-kelamaan kamar itu menjelma nyaman bagiku. Tentu saja bukan dari segi sarana-prasarana yang jika dibandingkan dengan asrama SMA ku dulu memiliki perbandingan 1:9. Sembilan untuk asrama nyamanku. Aku sama sekali tidak bahagia dengan segala fasilitas super tidak memadai. Kamar mandi hanya dua untuk empat puluh santri. Bayangkan bagaimana setiap pagi dan sore kita berebut antrean mandi. Tak jarang terjadi perang mulut di depan kamar mandi atau dari kamar ke kamar. Semua kami lakukan untuk bertahan hidup. Di dalam sel ini.
Lalu bagaimana semua ini bisa membuatku betah, nyaman, bahagia? Teman-temanku yang sudah kuanggap keluarga. Terutama teman sekamar. Hampir semua hal kami lakukan bersama makan, tidur, mencuci, buang sampah, piket, ngaji, bahkan sampai bolos ngaji pun kami lakukan dengan kesepakatan. Beranjak  tidur muka merekalah yang kupandan,g bangun tidur pun masih muka mereka. Bosan? Kadang iya. Tapi, kalian tahu terbiasa dengan sesuatu akan membuat kita kecanduan. Dan berhenti dari candu itu sangat menyiksa. Aku mencandui mereka, mencandui kami.
Hidup dengan sepuluh orang yang berbeda dengan watak masing-masing yang tidak ada yang sama satu sama lain mengajariku berbagai hal. Mengajariku bagaimana bersikap sopan kepada orang yang lebih tua, bagaimana cara memperlakukan anak yang lebih muda dari kita, bagaimana berkata-kata agar tidak membuat hati orang terluka, bagaimana bersikap pada orang yang terlalu baik dan terlalu jahat, bagaimana diam saat kita dibutuhkan untuk diam, bagaimana bercanda dan mengocok perut orang lain sampai mulut mereka berbusa, bagaimana pentingnya saling menolong dan menguatkan hati dan banyak lagi. Lain kali akan kucatat lebih rinci, jika aku sanggup.
Mereka, teman-teman sekamar ku, orang-orang baik. Akan kuperkenalkan satu per satu. Mbak Nana, dan Ncis, pasangan tante keponakan yang tidak pernah akur tapi aku yakin mereka sangat saling menyayangi. Mbak Nana beberapa tahun lebih tua dariku, terkadang ia bersikap sungguh bijaksana dan dewasa layaknya seorang ibu, namun lain waktu ia bisa menjelma menjadi bocah cilik yang sangat sensitif dan mudah merajuk. Kalau sedang bête bukannya marah-marah malah menghilang seharian dan pulang bawa makanan. Ini alasan kenapa kalau dia bad mood aku pun senang. Sikapnya sangat keras terhadap Ncis keponakannya. Ncis masih duduk di bangku SMP kelas 3. Anaknya manis kadang bisa sangat menjengkelkan, mandiri dan kuat, pun malas seperti aku. Dan walaupun dia yang paling muda diantara kami tapi anak inilah yang paling sering memanjakanku. Aneh memang.
Oh my God. Aku mulai menyesal kenapa mempunyai inisiatif mengenalkan mereka. Ini akan sangat panjang. Bersabarlah membaca ini. Kalian bisa melewatkannya kalau mau.
Mbak Nurul dan Mbak Rifka, pasangan kakak beradik yang so sweet. Selalu bersama di setiap kesempatan untuk bersama. Mbak Nurul seorang sarjana psikologi yang sangat paham psikologis seseorang, sangat lemah lembut dalam bertutur dan bersikap, dia orang yang kubilang terlalu baik. Sedikit banyak aku menyukainya dan tidak menyukainya dalam waktu bersamaan. Mbak Rifka adiknya, calon guru matematika, memiliki  watak lebih tegas daripada kakaknya dan cemerlang, sejak aku mengenalnya tak terhitung berapa artikelnya yang dimuat di media massa lokal Yogyakarta. Aku iri padanya untuk satu hal ini.
The Iha mojang priangan asal Majalengka, calon guru matematika juga. Sebentar lagi dia menikah, yap  diusianya yang ke 22 tahun, masih sangat muda. Oh iya dia menikah sebelum wisuda, sesudah ujian skripsi. Dari awal aku datang pun dia sepertinya memang sudah kebelet nikah. Hehe aku sih gitu nangkepnya. Ada satu rahasia, aku pun sebenarnya ingin menikah muda sepertinya. Terimakasih telah menertawakanku.
Mbak Ipeh, mahasiswa tingkat tiga di Fakultas Syariah UIN-SuKa, keturunan Jawa namun lahir dan besar di Lampung, mirip denganku. Bedanya aku lahir dan besar di Profinsi Sumatera Selatan. Orangnya lumayan menyenangkan, baik suka ngerokin aku kalau sakit perut karena haid, gaya bicaranya secepat kereta paling ekspres, sedikit banyak agak mirip denganku dalam hal ini.
Imun, satu-satunya santriwati di kamar yang seangkatan denganku, baik di pondok maupun di kampus. Dia seorang calon guru agama, anehnya di kampusnya itu sistem perkuliahan mereka adakan secara kilat. Kalau sekarang aku masih semester tiga Imun sudah semester empat. Konsekuensinya dia tak pernah punya hari libur, aku unggul darinya dalam urusan tanggal merah. Imun baik, suka mijitin aku kalau aku kecapaian, sayangnya dia sangat tidak memperhatikan kesehatannya sendiri. Dia punya penyakit yang kompleks dan tidak pernah mau kami bawa ke dokter. payah.
Mbak Lail, sudah sarjana dan sekarang sedang fokus menghapal Al Qur’an dan menyetorkannya ke Bu Nyai. Mesikipun kami anugerahi jabatan sebagai ketua kamar, mbak yang satu ini tidak pernah ada di kamar. Dia sibuk menjaga kantin dan membantu di dapur atas permintaan Bu Nyai.
Baiklah siapa yang belum kusebutkan? Kurasa sudah semua. Eits, satu lagi santriwati yang baru masuk Ramadhan kemarin. Namanya Novi, pelajar SMA MuGa asal Brebes, kami sangat bahagia jika mamanya datang menjenguk. Ya karena telor asin tidak pernah lupa beliau bawa. Novi anak yang rajin dan cerdas setidaknya di sekolahnya, kalau di pondok dia seringkali belajar hingga larut dan bangun telat saat subuh hingga terlewat tidak berjamaah.
Setahun aku menjalani hidup dengan mereka. Suka, suka, suka, suka, suka, dan duka kami lewatkan bersama. Membuat suatu ikatan persaudaraan yang kuat. Kami saling membenci, menyayangi dan mengagumi satu dengan yang lain. Kami tidak bias membayangkan perpisahan terjadi. Setidaknya sekarang atau dalam waktu dekat.
Lihat aku sudah melenceng terlalu jauh dari topik  awal kita. Mengenai perpindahan yang memaksa kami semua untuk berpisah. Kami tahu perasaan semua orang di sini sekarang karena perasaan kami pastilah sama. Enggan berpisah, enggan melepaskan ikatan yang sudah terjalin kuat.
Pada awalnya keputusan perpisahan itu datangnya dari Bu Nyai. Namun hanya untuk santriwati yang berstatus sebagai pelajar dan tahfidz Qur’an. Niatnya baik, supaya mereka lebih bisa fokus. Yang pelajar fokus pada pelajaran dan PR-PR mereka. Yang tahfidz focus pada hapalan mereka. Tidak ada yang memprotes keputusan ini karena datangnya dari Ibu. Karena keseganan kami terhadap beliau.
Namun berselang beberapa minggu setelah turun titah itu santriwati yang diperintahkan untuk pindah tak kunjung pindah. Lalu turunlah satu keputusan lagi. Kali ini modifikasi dari pengurus atas titah utama dari Ibu. Kami semua wajib pindah kamar untuk alasan  keadilan. Hey I tell you, adil itu nggak mesti sama mbak!
Dari sini timbullah gonjang-ganjing. Aku dan teman-teman sekamar memang enggan untuk pindah namun kepindahan kami memang sudah direncanakan dari awal. Ya karena kamar kami akan diisi khusus tahfidz Qur’an. Kami tidak begitu syok dengan keputusan ini. Meskipun keingingan kami tetap enggan untuk pindah. Selain karena sudah terlanjur nyaman dengan teman sekamar, kami juga sudah nyaman dengan kamar dan segala fasilitas tidak memadai yang ada. Enggan juga memindahkan barang-barang yang sudah kadung tersimpan rapi di tempatnya.
Tapi kami sebagai santriwati kalem, hanya diam dan menggerutu sedikit. Lain halnya dengan santriwati lain yang lebih frontal. Mereka sampai membuat kesepakatan serayon dan mengirimkan surat kepada pengurus dan menolak perpindahan itu. Menurut konfirmasi yang kuterima dari sana sini mereka bukannya menolak mutlak kepindahan itu, hanya saja waktunya terlalu cepat dan mendadak. Mereka minta waktu. Ada pula kabar yang bilang bahwa mereka enggan pindah karena sudah merencanakan berbagai hal untuk mengikuti rihlah (ziarah wali), seperti mereka akan naik bis yang sama dan membuat seragam khusus untuk mereka kenakan pada saat rihlah.
Yang mereka lakukan adalah mogok. Tidak mau pindah ke kamar yang sudah ditetapkan. Mereka tetap berada di kamar masing-masing. Hal ini membuat santriwati yang seharusnya pindah ke kamar mereka pun tidak bias pindah sekarang. Sedikit banyak aku senang karena ini. Setidaknya sampai sekarang pun aku belum pindah.
Ibu Nyai kami mulai geram dengan hal ini. Beliau  tadinya berkata tidak apa-apa kalau memang tidak mau pindah. Namun pengurus tetap bersikeras memindahkan kami. Akibatnya terjadi selisih paham, antara pengurus dan santri yang menolak kepindahan ini. Ibu Nyai yang tadinya santai pun muali geram. Pokoknya keadaan sekarang sedang tidak bagus untuk kesehatan. Lebih baik kalian tidur setelah membaca ini. Setidaknya seperti itulah versi cerita yang sampai padaku. Kebenaran hanya milik Allah SWT. semata.
Entahlah apa yang akan terjadi esok, esok, esok, dan esok? Akankah perpindahan itu menjadi kenyataan? Atau nasib baik berpihak kepada kami dan kami tidak jadi pindah. Doakan saja.
Dan kalaupun memang kami harus pindah kamar. Tulisan ini kudedikasikan untuk teman-teman sekamrku. Aku sayang kalian. Sekian.

Komentar